PANDANGAN FIKIH PADA FENOMENA REPLIKA DALAM TAKBIR KELILING

 



 

Akhir-akhir ini suasana takbir dalam rangka menyambut hari raya di sebagian daerah sudah berbeda dengan syari’at islam mulai dari iringan replika ogoh-ogoh gambar hewan, manusia, maupun sosok yang menyeramkan, bahkan dalam perayaan itu diiringi suara sound syistem yang keras dengan lantunan musik barat. Bagaimana pandangan fikih mengenai fenomena tersebut ?

Merayakan takbir saat hari raya memang disyariatkan dimanapun kita berada kecuali dalam tempat yang diharamkan seperti kamar mandi dll. Namun jika cara yang dilakukan bertentangan dengan  syari'at maka tentunya tidak dibenarkan, seperti halnya ketika merayakan hari raya dengan menggunakan replika gambar yang bernyawa.

Para ulama sepakat bahwa menggambar hewan hukumnya adalah haram, bahkan termasuk dosa besar, keharaman ini manakala gambar yang dibuat itu bentuknya sempurna (bentuk yang andaikan ada nyawanya bisa hidup), sehingga hukum ini mengecualikan pada gambar yang hanya sebagian saja, misalkan hanya bagian kepala, kepala sampai dada.

Keharaman menggambar itu karena ada ancaman bagi orang yang membuat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits bahwa orang yang menggambar kelak diakhirat akan disuruh menghidupkan.

Oleh karena itu hemat penulis jika ingin menggunakan replika saat perayaan hari raya hindari menggunakan replika yang bernyawa.

Lalu bagaiamana pandangan fikih tentang penggunaan suara shound syistem yang berlebihan dan lantunan musik yang diputar ?

Penggunaan shound syistem dengan suara  berlebihan yang dapat mengganggu orang lain tidak diperbolehkan, adapun terkait hukum musik, masih khilafiyah. Ada yang mengharamkan, ada yang menghukumi makruh, juga ada yang menghukumi mubah (boleh). Intinya jika musik tidak membawa seseorang berbuat dosa dan maksiat maka selama itu dihukumi mubah. Tapi sebaliknya jika alat yang dipakai dan lagunya menjadi pengantar seseorang berbuat dosa hukumnya haram. 

Dalam hal ini penulis menganjurkan ketika merayakan hari raya hendaknya diisi dengan hal-hal yang positif, menjunjung akhlakul karimah dengan cara misalkan tidak menyakiti orang lain dll., memperbanyak sedekah, dan hal terpuji lainnya.


Dasar pengambilan :

تحرم الصور ذات الظل وكل الصور المجسَّدة والتماثيل لكل ذي روح من إنسان أو حيوان، لإجماع العلماء على ذلك (الفقه الاسلامي وادلته للزحيلي ج 4 ص 2674)

Haram gambar yang memiliki bayangan, segala gambar yang berbentuk dan gambar yang menyerupai setiap yang bernyawa seperti manusia atau hewan karena ada kesepakatan ulama’ mengenai hal tersebut.

وقال الإمام النووى: إن جواز اتخاذ الصور إنما هو إذا كانت لا ظل لها وهى مع ذلك مما يوطأ ويداس أو يمتهن بالاستعمال كالوسائد وقال العلامة ابن حجر فى شرحه للبخارى حاصل ما فى اتخاذ الصور أنها إن كانت ذات أجسام حرم بالإجماع وإن كانت رقما فى ثوب فأربعة أقوال: الأول: يجوز مطلقا عملا بحديث إلا رقما فى الثوب الثانى: المنع مطلقا عملا بالعموم الثالث: إن كانت الصورة باقية بالهيئة قائمة الشكل حرم وإن كانت مقطوعة الرأس أو تفرقت الأجزاء جاز قال: وهذا هو الأصح الرابع: إن كانت مما يمتهن جاز وإلا لم يجز واستثنى من ذلك لعب البنات (روائع البيان تفسير ايات الاحكام ج 2 ص 415)

“Imam Nawawi menjelaskan bahwa boleh menggunakan gambar hanya ketika tidak memiliki bayangan, selain itu gambar tersebut juga biasa diinjak atau direndahkan penggunaannya, seperti bantal.” Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani saat mensyarahi kitab Imam Bukhari mengatakan, “Kesimpulan dalam penggunaan gambar bahwa sesungguhnya jika gambar memiliki bentuk tubuh (jism) maka haram secara ijma’. Jika gambar hanya sebatas raqm (gambar) dalam baju, maka terdapat empat pendapat. Pertama, boleh secara mutlak, berdasarkan redaksi hadits illa raqman fits tsaubi (kecuali gambar dalam baju). Kedua, haram secara mutlak, berdasarkan keumuman redaksi hadits. Ketiga, jika gambarnya dapat menetap dengan keadaan yang dapat berdiri sendiri, maka hukumnya haram. Namun jika gambarnya terpotong kepalanya atau terpisah bagian tubuhnya maka boleh. Pendapat ketiga ini merupakan pendapat yang ashah (paling kuat). Keempat, jika gambarnya merupakan gambar yang dianggap remeh maka diperbolehkan, jika tidak dianggap remeh (diagungkan misalnya) maka tidak diperbolehkan. Dikecualikan dari permasalahan di atas adalah mainan anak kecil”.

أن المجمع على تحريمه من تصوير الأكوان ما اجتمع فيه خمسة قيود عند أولي العرفان أولها ؛ كون الصورة للإنسان أو للحيوان ثانيها ؛ كونها كاملة لم يعمل فيها ما يمنع الحياة من النقصان كقطع رأس أو نصف أو بطن أو صدر أو خرق بطن أو تفريق أجزاء لجسمان ثالثها؛ كونها في محل يعظم لا في محل يسام بالوطء والامتهان رابعها؛ وجود ظل لها في العيان خامسها؛ أن لا تكون لصغار البنان من النسوان فإن انتفى قيد من هذه الخمسة كانت مما فيه اختلاف العلماء الأعيان. فتركها حينئذ أورع وأحوط للأديان (مجموع فتاوى ورسائل الامام السيد علوي المالكي الحسني ص 213)

“Bahwa gambar yang disepakati keharamannya adalah gambar yang terkumpul di dalamnya lima hal. Pertama, gambar berupa manusia atau hewan. Kedua, gambar dalam bentuk yang sempurna, tidak terdapat sesuatu yang mencegah hidupnya gambar tersebut, seperti kepala yang terbelah, separuh badan, perut, dada, terbelahnya perut, terpisahnya bagian tubuh. Ketiga, gambar berada di tempat yang dimuliakan, bukan berada di tempat yang biasa diinjak dan direndahkan. Keempat, terdapat bayangan dari gambar tersebut dalam pandangan mata. Kelima, gambar bukan untuk anak-anak kecil dari golongan wanita. Jika salah satu dari lima hal di atas tidak terpenuhi, maka gambar demikian merupakan gambar yang masih diperdebatkan di antara ulama. Meninggalkan (menyimpan gambar demikian) merupakan perbuatan yang lebih wira’i dan merupakan langkah hati-hati dalam beragama”.

حدثنا إبراهيم بن المنذر حدثنا أنس بن عياض عن عبيد الله عن نافع أن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أخبره أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة يقال لهم أحيوا ما خلقتم  (صحيح البخاري ج 7 ص 167)

bahwa Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam berkata “Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan disikasa dihari kiamat, dikatakan pada mereka hidupkan apa yang kalian ciptakan

فائدة: جماعة يقرأون القرآن في المسجد جهراً، وينتفع بقراءتهم أناس، ويتشوّش آخرون، فإن كانت المصلحة أكثر من المفسدة فالقراءة أفضل، وإن كانت بالعكس كرهت اهـ فتاوى النووي (بغية المسترشدين ص 108)

Faidah : ada sekelompok yang membaca al-Qur’an di masjid dengan suara keras, orang-orang mendapatkan kemanfaatan dari bacaan tersebut, dan Sebagian terganggu. jika kemaslahatan dalam bacaan itu lebih banyak maka membaca al-Qur’an (dengan suara keras) itu lebih utama, namun jika sebaliknya (tidak ada kemanfaatan) maka hukumnya makruh

لا يكره في المسجد الجهر بالذكر بأنواعه ، ومنه قراءة القرآن إلا إن شوّش على مصلّ أو أذى نائماً ، بل إن كثر التأذي حرم فيمنع منه حينئذ ، كما لو جلس بعد الأذان يذكر الله تعالى ، وكل من أتى للصلاة جلس معه وشوّش على المصلين ، فإن لم يكن ثم تشويش أبيح بل ندب لنحو تعليم إن لم يخف رياء (بغية المسترشدين ص 108)

Zikir dan sejenisnya antara lain membaca Al-Qur'an dengan lantang di masjid tidak makruh kecuali jika menggangu konsentrasi orang yang sedang sembahyang atau mengusik orang yang sedang tidur. Tetapi jika bacaan Al-Qur'an dengan lantang itu lebih banyak mengganggu (menyakiti orang lain), maka saat itu bacaan Al-Qur'an dengan lantang mesti dihentikan. Sama halnya adengan orang yang duduk setelah azan dan berzikir.

اعتكف رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فسمعهم يجهرون بالقراءة وهم فى قبة لهم ، فكشف الستور وقال " ألا إن كلكم مناج ربه ، فلا يؤذين بعضكم بعضا ، ولا يرفعن بعضكم على بعض بالقراءة " أو قال " فى الصلاة " (فتوى الازهار ج 9 ص 19)

“Dari Abu Said, ia bercerita bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan itikaf di masjid. Di tengah itikaf ia mendengar mereka (jama'ah) membaca Al-Qur'an dengan lantang. Rasulullah kemudian menyingkap tirai dan berkata, ‘Ketahuilah, setiap kamu bermunajat kepada Tuhan. Jangan sebagian kamu menyakiti sebagian yang lain. Jangan juga sebagian kamu meninggikan atas sebagian lainnya dalam membaca.’ Atau ia berkata, ‘dalam shalat,

اعلم أن قول القائل السماع حرام معناه أن الله تعالى يعاقب عليه وهذا أمر لا يعرف بمجرد العقل بل بالسمع ومعرفة الشرعيات محصورة في النص أو القياس على المنصوص وأعنى بالنص ما أظهره صلى الله عليه و سلم بقوله أو فعله وبالقياس المعنى المفهوم من ألفاظه وأفعاله فإن لم يكن فيه نص ولم يستقم فيه قياس على منصوص بطل القول بتحريمه وبقى فعلا لا حرج فيه كسائر المباحات ولا يدل على تحريم السماع نص ولا قياس ويتضح ذلك في جوابنا عن أدلة المائلين إلى التحريم ومهما تم الجواب عن أدلتهم كان ذلك مسلكا كافيا في إثبات هذا الغرض لكن نستفتح ونقول قد دل النص والقياس جميعا على إباحته أما القياس فهو أن الغناء اجتمعت فيه معان ينبغي أن يبحث عن افرادها ثم عن مجموعها فإن فيه سماع صوت طيب موزون مفهوم المعنى محرك للقلب فالوصف الاعم انه صوت طيب ثم الطيب ينقسم إلى الموزون وغيره والموزون ينقسم إلى المفهوم كالاشعار والى غير المفهوم كأصوات الجمادات وسائر الحيوانات أما سماع الصوت الطيب من حيث إنه طيب فلا ينبغي أن يحرم بل هو حلال بالنص والقياس (احياء علوم الدين ج 2 ص 268)

Artinya, “Ketahuilah, pendapat yang mengatakan, ‘Aktivitas mendengar (nyanyian, bunyi, atau musik) itu haram’ mesti dipahami bahwa Allah akan menyiksa seseorang atas aktivitas tersebut.’ Hukum seperti ini tidak bisa diketahui hanya berdasarkan aqli semata, tetapi harus berdasarkan naqli. Jalan mengetahui hukum-hukum syara‘ (agama), terbatas pada nash dan qiyas terhadap nash. Yang saya maksud dengan ‘nash’ adalah apa yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui ucapan dan perbuatannya. Sementara yang saya maksud dengan ‘qiyas’ adalah pengertian secara analogis yang dipahami dari ucapan dan perbuatan Rasulullah itu sendiri. Jika tidak ada satu pun nash dan argumentasi qiyas terhadap nash pada masalah mendengarkan nyanyian atau musik ini, maka batal pendapat yang mengaharamkannya. Artinya, mendengarkan nyanyian atau musik itu tetap sebagai aktivitas yang tidak bernilai dosa, sama halnya dengan aktivitas mubah yang lain. Sementara (pada amatan kami) tidak ada satupun nash dan argumentasi qiyas yang menunjukkan keharaman aktivitas ini. Hal ini tampak jelas pada tanggapan kami terhadap dalil-dalil yang dikemukakan oleh mereka yang cenderung mengharamkannya. Ketika tanggapan kami terhadap dalil mereka demikian lengkap, maka itu sudah memadai sebagai metode yang tuntas dalam menetapkan tujuan ini. Hanya saja kami mulai membuka dan mengatakan bahwa nash dan argumentasi qiyas menunjukkan kemubahan aktivitas mendengarkan nyanyian atau musik. Argumentasi qiyas menyatakan bahwa kata ‘bunyi’ itu mengandung sejumlah pengertian yang perlu dikaji baik secara terpisah maupun keseluruhan. Kata ini mengandung pengertian sebuah aktivitas mendengarkan suara yang indah, berirama, terpahami maknanya, dan menyentuh perasaan. Secara lebih umum ‘bunyi’ adalah suara yang indah. Bunyi yang indah ini terbagi atas yang berirama (terpola) dan yang tidak berirama. Bunyian yang berirama terbagi atas suara yang dipahami seperti syair-syair dan suara yang tidak terpahami seperti suara-suara tertentu. Sedangkan mendengarkan suara yang indah ditinjau dari keindahannya tidak lantas menjadi haram. Bahkan bunyi yang dihasilkan dari gerakan benda-benda mati dan suara hewan itu halal berdasarkan nash dan argumentasi qiyas,”

(قوله أما مع الآلة فمحرمان) وهذا ما مشى عليه الشارح والذي مشى عليه م ر في شرحه أن الغناء مكروه على ما هو عليه والآلة محرمة وعبارته ومتى اقترن بالغناء آلة محرمة فالقياس كما قاله الزركشي تحريم الآلة فقط وبقاء الغناء على الكراهة انتهت (حاشية الجمل ج 5 ص 380)

(Ucapan mushonif : adapun dengan alat maka keduanya diharamkan) pendapat ini sebagaimana yang disampaikan syareh adapun yang disampaikan Imam Ramli dalam syarahnya bahwa hukum menyanyi adalah makruh sedangkan alatnya hukumnya haram dasarnya kapan lagu bersamaan dengan alat yang diharamkan maka pengqiyasannya sebagaimana yang dikatakan imam Zarkasy adalah mengharamkan alatnya saja sedangkan lagunya adalah makruh

 

 

Ditulis oleh

Achmad Ulinnuha, M. Pd

Sekretaris LBM MWC NU Gebog & Sekretaris Komisi Fatwa MUI Gebog

Comments

SERING DI BACA

PEMBAGIAN DAGING QURBAN UNTUK ORANG MENINGGAL

KH. Mas Dain Amin pendiri madrasah BANAT NU

QURBAN DENGAN NIAT BERBEDA

PPYUR DAN HARI SANTRI

Madrasahku surgaku

Hukum menitipkan amplop buwoh

Mengenal Aswaja

Melestarikan jam'iyyah Al-Qur'an dizaman akhir

Ulama' Kharismatik Kudus wafat