Wahabi Memaksakan Dalil
WAHABI MEMAKSAKAN DALIL
Saat ini sering
kita dengar kata “harus kembali ke Qur’an” memang Al-Qur’an merupakan
dasar agama akan tetapi dalam rangka memahami ayat Al-Qur’an harus menguasai
ilmu diantaranya : bahasa arab, ilmu shorof, ilmu gramatika, ilmu balaghoh, ilmu Asbabun Nuzul, Nasyikh
dan mansyukh, jadi tidak semudah apa yang mereka lakukan yaitu dengan
menafsirkan Al-Qur’an hanya mengandalkan bahasa arab. Parahnya lagi tidak faham
bahasa Arab mereka mengartikan Al-Qur’an dengan google translite, seolah-olah
google ini maha guru yang super alim.
Dalam
Al-Qur’an dijelaskan bahwa umat Muhammad dibagi menjadi tiga
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ
الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ
مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ
الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian
kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih diantara hamba-hamba
kami, lalu diantara mereka ada yang mendlolimi diri sendiri, ada yang
pertengahan, dan adapula yang lebih dahulu berbuat kebaikan atas izin Allah,
dengan izin Allah yang demikian itu adalah karunia yang besar (QS Al-Fatir :
32)
Tafsiran ayat
فَمِنْهُمْ
ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ dalam kitab tafsir jalalain karya
syaikh Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi dijelaskan dengan
terlalu gegabah, gegabah dalam hal ini merupakan dengan menafsirkan ayat
Al-Qur’an sesuai dengan kehendaknya. Perlu diketahui sarat seorang mufassir
(Ahli Tafsir) itu harus menguasai bahasa arab, ilmu shorof, ilmu
gramatika, ilmu balaghoh, ilmu Asbabun
Nuzul, Nasyikh dan mansyukh. Maka siapapun yang menafsirkan Al-Qur’an sesuai
dengan pendapatnya, tanpa mengetahui ilmu-ilmu tersebut maka hukumnya haram.
Contoh
kesalahan penafsiran yang hanya mengandalkan bahasa arab oleh wahabiyyun
diantaranya pada lafadz :
الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
يَدُ
اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ
كُلُّ شيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ.
Ketiga ayat tersebut merupakan
ayat mutasyabihaat yang memiliki banyak makna, dan bertolak dengan dlohirnya
ayat. Jadi jika ditafsiri Allah diatas ‘Arasy, tangannya Allah diats tangan
mereka dan segala sesuatu akan rusak kecuali wajah-Nya berarti menjisimkan
Allah, lalu apa bedanya Allah dengan manusia ? tidak mungkin antara pencipta
itu sama dengan yang diciptakan. Selain itu jika diartikan apa adanya akan
bertentangan dengan ayat
لَيْسَ كَمِثْلْهِ شَيْءٌ
وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Tidak
ada sesuatu yang menyamai Allah dan Dia (Allah) adalah yang maha mendengar dan
maha melihat.
Dalam kitab
tafsir Zuroh At-tafaasir juz 2 halaman 1115 menjelaskan bahwa para ulama’
mena’wili ayat tersebut yaitu pada kata يَدْ
ditafsiri قُدْرَةٌ, sedangkan اسْتَوَىditafsiri الاستلاء, dan وجه ditafsiri
الذات. Para ulama’ berpendapat bahwa hal tersebut
merupakan perkara gaib yang tidak kita ketahui sebagaimana hakikatnya ruh.
Apakah ada yang tahu bagaimana hakikat ruh ? Ketika Rasulullah ditanya tentang
Ruh maka jawaban adalah
قل
الروح من امر ربي
Sebagaimana ruh segala bentuk
kenikmatan disurga tidak ada yang tahu kecuali Allah, bahkan dalam hadits nabi
dalam rangka mensifati isi surga beilau bersabda
ما لَا عين رأت، ولا أذن سمعت، ولا خطرَ على قلب بشر
Meskipun tidak tahu
secara pasti mengenai maksud dari ayat mutasyabihat ada 3 ulama’ yang
berpendapat pada ayat tersebut, yaitu :
1. Ibn
Hazm
Beliau
berpendapat bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat tidak ada unsur
keserupaan dimana semuanya adalah nama dzat Allah yang mulia, adapun kata يَدٌ
merupakan
kinayah dari الذات, sebagaimana kata يَدٌ
adalah الوجه
2. Imam
Ghozali
Beliau
berpendapat sebagaimana yang terdapat dalam kitab إلجام العوام عن علم الكلام bahwa pada
ayat tersebut terdapat keserupaan yaitu menggunakan majaz yang masyhur yang
tidak perlu dita’wil sebagaimana dalam memahami lafadz وضع الأمير يده على المدينة kata يد
pada contoh tersebut tidak bisa
diartikan tangan melainkan diartika menguasakan
3. Ibn
Taimiyyah
Ia
berpendapat bahwa ayat tersebut maknanya sudah nampak (diartikan tangan
sebagaimana yang dikatakan wahabiyyun saat ini). Ia berkata bahwa Allah punya
tangan tapi tidak seperti tangan kita, punya wajah tapi tidak seperti wajah
kita dan ini adalah makna hakiki.
Jika
mengatakan seperti itu apa itu tidak menjisimkan Allah ?
Ibn Taimiyah
mengatakan kalau pendapat itu adalah sesuai pendapatnya ulama’ salaf yaitu
mengikuti kelompok dari imam Hanbali, akan tetapi perkataan Ibn Taimiyah
ditolak oleh Imam Jauzi kalau itu bukan pendapat imam Ahmad bin Hanbali,
kemudian Imam Jauzi berkata “ Saya melihat dari muridku seseorang yang bicara ushul
dengan hal yang tidak benar dan saya melihatnya ia seperti derajatnya orang
awam, yaitu dengan menafsiri sifatnya Allah sesuai dengan panca indra dan
menetapkan Allah dengan memiliki bentuk dan wajah. Sesungguhnya mereka
memakai dhohirnya lafadz pada nama-nama dan sifat Allah.
Imam Ahmad
bin hanbal berkata “barang siapa yang berkata kalau dzatnya Allah itu sama
dengan lainnya maka ia menempatkan Allah pada tempat yang terlihat panca indra
sesungguhnya kami mengetahui dan mengnetapkan kalau Allah itu Qodim.
Imam Jauzi
berkata :
لا تُدخلوا في مذهب هذا الرجل الصالح
ما ليس فيه ".
Tidak
termasuk madzhabnya Ulama’ yang sholeh (Ahmad bin Hanbal) adalah seseorang yang
tidak mengikutinya.
Jadi
pengakuan Ibn Taimiyah yang mengatakan kalau ia mengikuti madzhab Hanbali itu
tertolak. Karena ia menafsiri ayat mutasyabih sesuai dengan makna dlohir, Lalu
apakah benar pengakuan dari kelompok salafi yang mengatakan kalau mereka
pengikut ulama’ salaf ?
Dengan
melihat kenyataan yang ada sebagaimana komentar dari Imam Jauzi terhadap
ungkapan Ibn Taimiyah yang mengatakan
bahwa ia mengikuti ulama salaf (Ahmad bin Hanbal) maka sejatinya ia tidak mengikuti.
Wallahu alam bi showab
Penulis :
Achmad Ulinnuha, M. Pd
Comments
Post a Comment